Alhamdulillah,
di usia yang ke-24 tahun ini Allah telah mempertemukan aku dengan sosok
laki-laki yang nantinya akan menjadi Qowwam di dunia dan InsyaAllah
bisa mendidikku sampai ke Jannah. Proses pendekatan kami dari awal
hingga khitbah kurang lebih telah dijalani selama 4 (Empat) bulan. Di pertemuan pertama, Abang menyampaikan
tujuannya dengan kata-kata yang sangat singkat, padat, dan jelas. Tidak ada
bunga dan suasana yang romantis yakali bukan drakor wkwkwkw. Intinya, keinginan
Abang untuk mengenalku tidak lain dan tidak bukan adalah berjalan menuju ke
jenjang yang lebih serius. Tidak sekadar berteman biasa.
Gumamku dalam
hati. “Ya Allah? Ini sungguhan? Abang ini yakin? beneran? Gamau pikir-pikir
dulu gitu? I think You deserve more loh!”
Saat itu, aku
masih belum memiliki keyakinan untuk menerimanya. Merasa belum layak, belum
siap, belum mumpuni, belum cukup ilmu, dan belum-belum aja gitu. Entahlah,
ditambah masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, kontras watak
yang sangat melekat, berbagai keraguan yang butuh diyakinkan, dan berbagai luka
yang masih harus disembuhkan. Banyak alasan yang tidak bisa dijelaskan mengapa
aku memiliki pemikiran demikian.
Menurutku, responku
saat itu adalah hal yang lumrah. Sudah menjadi tabiat manusia jika diberikan
pilihan maka akan memilih pilihan yang terbaik. Apalagi kalo bicara tentang
pilihan pendamping hidup. Aku paham dan sadar bahwa pilihan yang terbaik pasti
nantinya akan memberikan kemudahan untukku menjalani kehidupan berumah tangga.
Aku juga memahami konsep bahwa Pernikahan adalah ibadah terpanjang dalam hidup.
Ketika Akad sudah terucap, maka terjadilah perjanjian antara manusia dengan
Rabb-Nya yang disaksikan oleh ribuan Malaikat. Semua yang hadir ikut mengamini
doa-doa terbaik yang dipanjatkan. Momen yang insyaAllah menjadi momen sekali
seumur hidupku. Sekali saja dan aku tidak ingin salah orang. Se-sakral itu aku
memaknai sebuah momen pernikahan. Bukan main-main.
Lengkap dengan
kebahagiaan, pasti akan ada aja ujian yang akan dihadapi. Entah itu ujian dari
kedua orangtua, anak, saudara, teman, finansial, masing-masing dari kita, atau
bahkan pihak ketiga. Dalam menghadapi ujian tersebut, aku ingin bersama dengan
laki-laki yang hanya memiliki rasa takut dan taat kepada Allah SWT. Sebab, jika
rasa takut kepada Allah SWT itu masih ada didalam hatinya, maka tidak akan ada
hal buruk yang akan terjadi kedepannya. Jika ada ketaatan dalam hatinya, maka
ia akan bertindak-tanduk selaykanya seorang pemimpin dalam rumah tangga yang
seutuhnya.
Tidak lain
panutanku dalam hal keilmuan pernah berkata
“Pilihlah
lelaki yang baik agamanya. Jika marah ia tidak menghina, jika cinta ia akan
memuliakan” – Ali bin Abi Thalib.
Saat menentukan
pilihan tentang pernikahan, aku tidak ingin pilihan itu hanya semata-mata didasari
oleh nafsu dan diburu oleh waktu. Misalnya nih, karena ada banyak temen yang
sudah menikah trus pingin ikut-ikutan nikah. Akhirnya? ketemunya pasangan yang
sedapet-dapetnya. Pusing mikirin skripsi, trus tiba-tiba pingin nikah. Ngga sabar
liat keuwuan pasangan selebriti yang nikah muda, trus pingin ikutan nikah. Stress
dapet undangan nikah mulu, jadinya pingin cepet-cepet nikah. Nah, dasar semacam
itu menurutku sangat tidak dewasa jika dijadikan pondasi untuk memulai
kehidupan berumah tangga. Ini menurutku yaaaa~
Lah trus? dasar
yang paling oke apa?
Sejalan dengan
kutipan yang aku tuliskan diatas, dasar agama. Sejauh ini, benar bahwa selama
proses perkenalan, marahnya Abang tidak pernah menghinakanku dan cintanya bisa
dirasakan bahwa memang Abang memuliakanku ~Alhamdulillah, uwu mantap. Bohong
jika selama masa perkenalan kami adem ayem, justru kami seringkali bersitegang,
namun kami bergantian saling mengingatkan dan mengalah. Istighfar bersama-sama
masih menjadi opsi ketika amarah sedang hebat-hebatnya. Gimanapun, keadaan harus
bisa segera mencair kembali.
Selama masa
penjajakan ini, banyak hal yang sudah dilalui. Singkat tapi menurutku on
point, dan memang seharusnya begitu. Bersyukur antara aku dan Bang, ngga
ada pihak yang merasa nggantung atau digantungkan. Ngomongin soal kriteria, sebenernya aku punya kriteria yang umumnya diinginkan oleh setiap wanita. Salah satunya, ingin memiliki pasangan yang tidak merokok. Nah, bukannya abang ini tidak pernah merokok sama sekali, katanya sih pernah coba tapi nggak suka rasanya. Kriteria lain cukup aku aja yang tau wkwkwkwk. Selama proses penjajakan, kami sering ngobrol soal pandangan kedepan, hobi, kebiasaan, apa yang disuka dan nggak disuka, selebihnya yaa obrolan seperlunya aja. Setelah itu, mulailah aku;
Dikenalkan
pada kedua orang tua
Aku lupa
tepatnya kapan, pokonya akhir Februari 2021. Untuk pertama kalinya aku silaturahmi
kerumah Abang untuk menemui kedua orangtuanya. Sampai di depan rumah, terlihat
dibalik jendela sosok laki-laki paruh baya yang sudah menungguku, tidak lain
beliau adalah Ayahnya Bang.
“Alhamdulillah,”
adalah kalimat pertama yang diucapkan Ayah usai menjawab salamku. Berulang kali
beliau menatapku kemudian mengucap hamdalah, seolah beliau bersyukur putra
bungsunya bertemu dengan Wanita sepertiku wkwkwk GR dikit boleh lah yaak hihiw.
Seketika kekhawatiran perihal bayangan mertua yang menyeramkan pun punah.
Sepanjang
perjalanan aku berdoa kepada Allah ta’ala. Bismillah, dengan niat yang baik
ini, semoga aku diberikan kelancaran, kesan pertama yang mempesona, dan
diterima dengan baik di keluarganya. Alhamdulillah, doa itu diijabah.
Abang
mondar-mandir ngeluarin maeman dan camilan yang udah disiapin Ibuk, sedangkan
aku ngobrol santuy sama Ayah. Sejujurnya ngga se-santuy itu sih wkwkwkwk Ayah
orangnya detail banget, jadi pertemuan pertama yang dibahas udah banyak.
Obrolannya ngalir aja gitu. Aku ditanya tentang arti nama, diminta cerita
tentang keluarga, kenal Abang darimana, apa yang ngebuat aku suka sama Abang,
trus kedepannya sama Abang pinginnya gimana, ditanya soal niat bersedekah,
amalan selesai sholat biasanya yang dibaca apa, dan banyak lagi. Ayah sama Ibuk
juga cerita tentang Abang itu anak yang kayak gimana. Fun-Fact, aku adalah
Wanita pertama yang dikenalkan Abang ke Ayah sama Ibu (InsyaAllah jadi yang
pertama dan terakhir).
Dilibatkan
dalam Acara Keluarga (March 14th, 2021)
Abang emang
bukan tipe laki-laki yang suka bermain sosial media. Mon Maap, feeds
instagramnya aja terakhir kali upload tahun 2016 wkwkwkw. Jangankan update
story Instagram, update status Whatsapp aja jarang banget.
Kalopun update yaa tentang ceramah, kajian, video yang ngingetin soal kematian,
siksa kubur, gitu-gitu deh.
Abang bukan tipe
orang yang butuh recognize, attention maupun approval dari
orang lain. Tipe Koleris itu gimana si? Ya begitu itu wkwkwkw kan beda banget
yak sama yang plegmatis macam aku nih. Intinya, Abang punya cara sendiri buat
ngenalin aku ke lingkarannya. Misalnya, aku dilibatkan secara langsung saat ada
acara keluarga. Dengan begitu, aku juga ostosmastis jadi kenal dan akrab sama
Kakaknya, Calon kakak iparnya, Bude-Pakde nya, Om-Tante nya, Saudara sepupunya.
Sesekali upload iya, tapi bukan yang everytime, everywhere, every
single minute, every meet up, every special moment di gembar-gemborkan gitu
loh. Begitu pula sebaliknya, aku juga melibatkan abang jika ada kesempatan
dalam acara-acara keluarga.
Abang menemui
Orangtuaku untuk menyatakan keseriusan (April 4th, 2021)
Abang berulang
kali menanyakan kapan dia boleh main kerumah dan menyampaikan niat baiknya pada
kedua orangtuaku, namun aku masih mengulur waktu. Bukan dengan sengaja, namun
aku ingin lebih memantapkan dan menata hati kembali. Sudahkah aku melibatkan
Allah dalam setiap pengambilan keputusan? Sebab masih ada beberapa hal yang
masih mengganjal. Hal semacam itu memang harus dituntaskan dan diselesaikan
terlebih dahulu. Utamanya perihal hati. Aku tidak ingin ada kekecewaan atau
semacamnya di kemudian hari ketika pilihan itu sudah dibuat.
H-7 Ramadhan,
Abang datang kerumah untuk bertemu dengan Ayah dan Bunda. Berpakaian rapi,
Abang menyampaikan niat baiknya bahwa minggu depan akan mengajak keluarga
intinya untuk silaturahmi sekaligus Khitbah.
From the
depths of my heart. “Ya Allah dah sampe di titik ini yaa, akuu?”
Malam itu Ayah
dan Bunda memberikan beberapa pertanyaan kepada Abang seputar apa yang
membuatnya yakin bahwa nantinya memilihku sebagai pasangan hidupnya, adakah
kebanggaan ketika mengenalku, dan beberapa pertanyaan lain yang disampaikan dan
dijawab dari hati kehati. Bunda juga banyak cerita ke Abang tentang bagaimana
masa kecilku, gimana aku survive, gimana pengalaman belajarku dari kecil
sampai sekarang, bagaimana Bunda mendidikku, hampir ½ dari proses hidupku
diceritakan langsung oleh Bunda ke Abang. What a special night ever.
Kenapa aku bilang gitu? Karena segala hal tentangku yang dikatakan oleh
orang-orang terkasihku adalah benar adanya. Tidak aka nada yang aku tambah
apalagi aku buat buat. Yaudah begitu adanya perjalanan hidupku. MasyaAllah
dah~
Khitbah (April 11th, 2021)
Seminggu
kemudian, Abang dan keluarganya datang ke rumah dengan niat ingin
meng-khitbahku. Pagi yang tenang, semua orang berkumpul untuk saling mengenal
satu sama lain. Pertanyaan khitbah disampaikan langsung oleh Ayahnya Abang,
kemudian ditanggapi oleh Ayahku kurang lebih seperti ini;
“… Bahwa saat
ini memang anak saya Selfi, masih belum menerima khitbah dari siapapun.
Kemarin-kemarin, beberapa kali memang sudah pernah ada yang menanyakan, namun
hanya sekadar menanyakan sebatas kabar saja. Belum sampai pada pertemuan
keluarga seperti ini. Hal-hal semacam ini memang tergantung pada anak-anak,
sebab anak-anak inilah yang nantinya akan menjalani. Intinya, Khitbah ini
adalah pertama yang diterima oleh keluarga kami khususnya kepada Anakku Selfi dan
mudah-mudahan bisa berlanjut hingga jenjang pernikahan nanti.”
Alhamdulillah,
lega! Udah itu aja definisi atas segala hal yang terjadi pada hari itu.
Pertemuan
Keluarga di bulan Syawal (May 23rd, 2021)
Setelah Ramadhan
berlalu, Keluarga besarku silaturahmi kerumah Abang untuk pertama kalinya.
Diem-diem Bunda beli Abaya selusin dong, katanya buat nanti dipake pas kerumah
Abang, biar kembaran. Ibund inisiatif sendiri. Dari jauh-jauh hari lebih
antusias ketimbang aku. Jujur aku terharu, sebegitu sayangnya Ibund ke aku.
Semua saudara kandungnya (Bude, Om, dan Tanteku) dihubungi, sekiranya yang
punya kesibukan bisa menyempatkan waktu buat acara ini. Bunda emang gitu
orangnya, terbuwaikkk. Bunda juga yang udah ngatur semuanya. Ngga kebayang kalo
ngga ada Ibund aku bakal gimana :’)
Rasanya, berdosa
banget aku sampe detik ini masih nyusahin ibund. Dalam banyak hal, aku masih
belum bisa jadi anak yang baik buat Ibund. Aku sering banget ngecewain ibund. Terlepas
dari itu semua, aku sayang banget sama Ibund.
Minta doanya aja
supaya segala hajat yang sudah direncanakan bisa berjalan dengan lancar dan
barokah buat semuanya. Amiin ya robbal alamiin. Postingan kali ini semacam disclosure
bahwa aku tidak sedang berjuang seorang diri. Sudah ada hati yang sedang aku jaga
dan tidak sedang menerima hati yang lain.
This post
marks my new step journey in my 24th. At the same time, I am glad to know you
Abang Ma’ruf Firmansyah. Let us support each other to have an everlasting
growth. We grow together, in all aspect of our life.